Aku
percaya, setiap insan adalah gudang kenangan—ada yang indah laksana permata,
ada pula yang pahit menoreh luka. Ada yang menakutkan, membuat kita tidakut,
namun tidak kurang juga yang membakar semangat, menghidupkan kembali bara
harapan. Mozaik kenangan inilah yang pada akhirnya membentuk siapa kita hari
ini; mendewasakan jiwa, mengarahkan langkah menuju kebaikan, atau sebaliknya.
Lazimnya, kenangan selalu beriringan dengan pengalaman, dan sering kali, dari
pengalaman itulah lahir makna-makna positif yang mendalam. Maka, izinkan aku
membuka sedikit lembaran kisahku, berkongsi sekelumit memori dan pengalaman
yang telah mengukir diriku menjadi insan yang lebih utuh.
Bukanlah
sebuah kisah yang gemilang atau penuh kilau keemasan yang ingin kupersembahkan.
Ini hanyalah seuntai catatan perjalanan, sebuah jejak yang kutempuh untuk
mengumpulkan kenangan—sebagai santapan jiwa, sebagai diari indah yang tidak
lekang oleh waktu, atau sekadar sebagai rasa baru yang ingin kubagikan dengan
kalian. Izinkan aku membawa kalian melayang, kembali ke sebuah daerah di utara
tanah air. Kini, aku berada jauh di selatan, di Seremban, Negeri Sembilan,
namun daerah itu, ya, daerah itu menyimpan seribu satu memori yang membentuk
diriku hari ini.
Ajaibnya,
meskipun dua dekad sudah berlalu sejak kaki ini menjejak tanahnya, setiap
pengalaman dan kenangan manis di sana masih begitu segar dalam ingatan.
Seolah-olah waktu tidak berdaya menghapusnya. Kini, dengan sepenuh hati, aku
ingin mencatatkan kembali permulaan kisahku di sini.
Aku
ingin menceritakan bagaimana aku tiba di daerah ini, sebuah tempat yang
keindahannya terasa jauh lebih dalam justeru ketika aku jauh darinya. Benarlah
kata orang, sering kali kita mendengar cerita-cerita tentang keindahan tempat
lain—yang belum pernah kita jejaki—ketika kita masih berada di tempat yang
sekarang. Namun, anehnya, begitu kita berkesempatan menjejakkan kaki ke bumi
yang didamba itu, ia terkadang terasa biasa saja, tidak seindah yang
dibayangkan. Seakan khayalan melukiskan syurga, realiti hanya memperlihatkan
sebidang tanah biasa.
Setelah
direnungkan, keindahan yang dulu diceritakan itu sebenarnya hanyalah permainan fikiran
semata, terikat erat pada kenangan-kenangan yang telah kita lalui pada masa
lalu. Ia adalah cerminan dari nostalgia yang singgah, melukiskan kembali nuansa
masa lampau pada kanvas fikiran kita. Ini mengajariku sebuah pengajaran penting:
keindahan sejati seringkali bukan pada tempat itu sendiri, tetapi pada pengalaman
dan emosi yang kita rajut di sana. Dan kadang-kadang, jaraklah yang mengukir
keindahan itu menjadi lebih menawan dalam ingatan kita.