06 November 2006

Episod 1: Pengkalan Hulu

Aku percaya, setiap insan adalah gudang kenangan—ada yang indah laksana permata, ada pula yang pahit menoreh luka. Ada yang menakutkan, membuat kita tidakut, namun tidak kurang juga yang membakar semangat, menghidupkan kembali bara harapan. Mozaik kenangan inilah yang pada akhirnya membentuk siapa kita hari ini; mendewasakan jiwa, mengarahkan langkah menuju kebaikan, atau sebaliknya. Lazimnya, kenangan selalu beriringan dengan pengalaman, dan sering kali, dari pengalaman itulah lahir makna-makna positif yang mendalam. Maka, izinkan aku membuka sedikit lembaran kisahku, berkongsi sekelumit memori dan pengalaman yang telah mengukir diriku menjadi insan yang lebih utuh.

Bukanlah sebuah kisah yang gemilang atau penuh kilau keemasan yang ingin kupersembahkan. Ini hanyalah seuntai catatan perjalanan, sebuah jejak yang kutempuh untuk mengumpulkan kenangan—sebagai santapan jiwa, sebagai diari indah yang tidak lekang oleh waktu, atau sekadar sebagai rasa baru yang ingin kubagikan dengan kalian. Izinkan aku membawa kalian melayang, kembali ke sebuah daerah di utara tanah air. Kini, aku berada jauh di selatan, di Seremban, Negeri Sembilan, namun daerah itu, ya, daerah itu menyimpan seribu satu memori yang membentuk diriku hari ini.

Ajaibnya, meskipun dua dekad sudah berlalu sejak kaki ini menjejak tanahnya, setiap pengalaman dan kenangan manis di sana masih begitu segar dalam ingatan. Seolah-olah waktu tidak berdaya menghapusnya. Kini, dengan sepenuh hati, aku ingin mencatatkan kembali permulaan kisahku di sini.

Aku ingin menceritakan bagaimana aku tiba di daerah ini, sebuah tempat yang keindahannya terasa jauh lebih dalam justeru ketika aku jauh darinya. Benarlah kata orang, sering kali kita mendengar cerita-cerita tentang keindahan tempat lain—yang belum pernah kita jejaki—ketika kita masih berada di tempat yang sekarang. Namun, anehnya, begitu kita berkesempatan menjejakkan kaki ke bumi yang didamba itu, ia terkadang terasa biasa saja, tidak seindah yang dibayangkan. Seakan khayalan melukiskan syurga, realiti hanya memperlihatkan sebidang tanah biasa.

Setelah direnungkan, keindahan yang dulu diceritakan itu sebenarnya hanyalah permainan fikiran semata, terikat erat pada kenangan-kenangan yang telah kita lalui pada masa lalu. Ia adalah cerminan dari nostalgia yang singgah, melukiskan kembali nuansa masa lampau pada kanvas fikiran kita. Ini mengajariku sebuah pengajaran penting: keindahan sejati seringkali bukan pada tempat itu sendiri, tetapi pada pengalaman dan emosi yang kita rajut di sana. Dan kadang-kadang, jaraklah yang mengukir keindahan itu menjadi lebih menawan dalam ingatan kita.

 

Menulis.

      Sudah lama jemari ini tidak menari di atas papan kekunci. Rindu menulis kadang-kadang datang menyelinap, mengetuk perlahan-lahan pintu...