23 March 2009

Siapa Nur 'Ainatul Mardhiah

Rombongan umrah kami selesai awal Disember 1992.Berangkat pulang dengan hati penuh debar dan kesayuan.Rindu yang mendalam pada isteri yang ditinggalkan.Bagaimanakah dia? Anak yang dikandung bagaimana pula?.Seminggu lebih tidak mendengar berita.Sayu juga kerana ziarah kami di bumi anbiya' hanya di sini ketika itu.Alhamdulillah segalanya berjalan lancar.Moga-moga Allah menerima ibadah umrah ini.

Aku dan rombongan tiba di tanah air pada subuhnya.Isteri menyambutku di lapangan terbang.Hati berbisik riang, melihat perut isteriku pula aku menjadi kasihan.Lucu juga dibuatnya.Tidak lama lagi aku bergelar bapa.Telah kupanjatkan doa paling tulus dan penuh pengharapan moga Allah perkenankan.

22/12/1992 isteriku selamat melahirkan seorang puteri.Kunamakan anakku Nur 'Ainatul Mardhiah.Nama yang sangat bermakna dalam ingatanku.Memang aku berkira-kira akan menamakan anakku yang bakal lahir nanti dengan nama itu jika aku mendapat anak perempuan.Siapa Nur 'Aina ?

Lama dulu aku pernah membelek buku kisah para solehin.Dipetik dari kitab Irsyadul 'Ibad.Kisah Ainul Mardhiah paling kuingat dan sehingga kini kuabadikan bersempena kelahiran puteri sulungku.

Dalam suatu kisah yang dipaparkan Al-Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat 111, yang artinya sebagai berikut :

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka"

Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia berkata:

"Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan syurga untuk mereka?"
"Ya, benar, anak muda" kata Abdul Wahid.
Anak muda itu melanjutkan:

"Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan syurga ."

Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah.

Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur. Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak:

"Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . ." Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu. Ia menjawab: "Tadi sewaktu aku sedang  tidur, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya berkata:

"Pergilah kepada Ainul Mardiyah."

Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku , mereka bergembira seraya berkata:

"Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . ."
"Assalamu’alaikum" kataku bersalam kepada mereka.
"Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?"

Mereka menjawab salamku dan berkata:

"Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu"

Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah. Akhirnya aku sampai pada khemah yang dibina dari mutiara berwarna putih. Di pintu khemah terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam:

"Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang . …"

Ketika aku dipersilakan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata:

"Bersabarlah, kamu belum diizinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu."

Anak muda melanjutkan kisah mimpinya:

"Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama".

Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melibas mereka. Selesai pertempuran aku mencuba meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia. ( Irsyadul Ibad ).

No comments:

Post a Comment

Aku sangat berterima kasih kerana anda sudi memberi komen dalam blog aku ini namun aku perlu memberi izin dahulu sebelum ianya kupaparkan.

Menulis.

Sudah lama tidak menulis. Rindu hendak menulis kadang-kadang datang. Namun sejak bertukar tempat kerja, masa menjadi halangan. Segalanya mer...