Rombongan
umrah kami selesai awal Disember 1992.Berangkat pulang dengan hati penuh debar
dan kesayuan.Rindu yang mendalam pada isteri yang ditinggalkan.Bagaimanakah
dia? Anak yang dikandung bagaimana pula?.Seminggu lebih tidak mendengar
berita.Sayu juga kerana ziarah kami di bumi anbiya' hanya di sini ketika
itu.Alhamdulillah segalanya berjalan lancar.Moga-moga Allah menerima ibadah
umrah ini.
Aku dan
rombongan tiba di tanah air pada subuhnya.Isteri menyambutku di lapangan
terbang.Hati berbisik riang, melihat perut isteriku pula aku menjadi
kasihan.Lucu juga dibuatnya.Tidak lama lagi aku bergelar bapa.Telah kupanjatkan
doa paling tulus dan penuh pengharapan moga Allah perkenankan.
22/12/1992
isteriku selamat melahirkan seorang puteri.Kunamakan anakku Nur 'Ainatul
Mardhiah.Nama yang sangat bermakna dalam ingatanku.Memang aku berkira-kira akan
menamakan anakku yang bakal lahir nanti dengan nama itu jika aku mendapat anak
perempuan.Siapa Nur 'Aina ?
Lama dulu aku
pernah membelek buku kisah para solehin.Dipetik dari kitab Irsyadul 'Ibad.Kisah
Ainul Mardhiah paling kuingat dan sehingga kini kuabadikan bersempena kelahiran
puteri sulungku.
Dalam suatu kisah yang dipaparkan Al-Yafi’i
dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap
hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat.
Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat 111, yang
artinya sebagai berikut :
Selesai ayat
itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari
tempat duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah
meninggal. Ia berkata:
"Wahai
Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta
mereka dengan syurga untuk mereka?"
"Ya,
benar, anak muda" kata Abdul Wahid.
Anak muda itu melanjutkan:
"Kalau begitu saksikanlah, bahwa
diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan syurga ."
Dia rajin
mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila
sedang tidur. Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran,
tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak:
"Hai,
aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . ." Kami menduga dia
mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah
itu. Ia menjawab: "Tadi sewaktu aku sedang tidur, selintas aku bermimpi. Seseorang datang
kepadaku seraya berkata:
Ia juga
mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang
jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan
perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku , mereka
bergembira seraya berkata:
"Inilah
suami Ainul Mardhiyah . . . . ."
"Adakah di antara kalian yang
bernama Ainul Mardhiyah?"
Mereka menjawab salamku dan berkata:
"Tidak, kami ini adalah
pembantunya. Teruskanlah langkahmu"
Beberapa kali
aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik,
tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan
langkah. Akhirnya aku sampai pada khemah yang dibina dari mutiara berwarna putih.
Di pintu khemah terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia
nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam:
"Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang .
…"
"Bersabarlah, kamu belum diizinkan
lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu."
Anak muda melanjutkan kisah mimpinya:
"Lalu aku terbangun, wahai Abdul
Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama".