Merenung Bulan
Aku selalu merenung bulan,
Terbitnya di puncak bukit arah ke timur,
Selalu ku tunggu dengan sabar,
Kadang-kadang bulan menyorok di balik pohon-pohon kayu yang memagar.
Namun, cahayanya yang mendamaikan
Jelas bersinar tatkala sekitar mulai kelam,
Aku khusyuk di bidai jendela,
Teman setia yang menanti kekasihnya.
Terpana kerana lembut sinarnya mendamai jiwa,
Kerana bila bilangan malam menjadi ganjil 15,
Aku tahu teman ku akan keluar menyapa di puncak sana,
Bulat berseri umpama gadis datang menyerah seribu senyuman.
Khayal Malam
Itulah aku,
Khayal dengan malam yang datang,
Terbitnya bulan selalu memaut jiwa,
Menjadi pilu dan rawan,
Kerana malam yang maha indah itu
Selalu ingin menyerlahkan kerahsiaannya.
Detik-detik tetap kutunggu,
Kuning kemerahannya bersinar,
Menyejukkan alam,
Gah menjadi tatapan makhluk,
Yang resah dan gundah sepertiku.
Puisi Keindahan Tuhan
Cahaya bulan,
Dingin angin yang bersapa,
Selalu menyoal jiwa.
Siapakah yang terlebih indah
Di sebalik keindahan ini?
Itulah aku dulu,
Merenung dan selalu bertanya kembali.
Kawan,
Jika kau dapati aku khayal
Dengan bulan dan lalu memuji keindahan,
Aku ingin kau faham
Bahawa aku memuji keindahan Tuhan.
Cerita ini telah lama aku simpan, lama dulu ketika remaja belasan tahun. Waktu itu, aku tinggal di daerah yang sunyi, dan malamnya selalu membuat jiwa mencari. Tidak hairanlah kenapa aku suka menyendiri. Nostalgia ini memang selalu berulang pada setiap purnama bulan. Kini, saat bulan purnama muncul, aku teringat kembali saat-saat itu.
Ketika cahayanya menerangi jalanan yang sepi, kenangan-kenangan yang tersimpan seolah mengundangku untuk kembali ke zaman itu. Saat di mana impian dan harapan melambung tinggi. Malam yang sunyi ini menjadi penanda kisah yang takkan pudar, menemani perjalanan hidupku yang tak terduga.
Dalam keindahan malam, aku mencari makna di sebalik setiap sinar. Mungkin, itulah kenapa bulan dan malam selalu menjadi teman setiaku.